Tolak Jual Lahan untuk Pabrik

SRAGEN, Kabarsukowati – Sebagian petani di Desa Bonagung, Kecamatan Tanon menolak menjual lahan mereka untuk pengembangan investasi. Lantas mereka membentuk Forum Komunikasi Petani Bersatu dan menggelar aksi penolakan di areal Persawahan Selasa (13/9).


Puluhan petani berkumpul di area persawahan mereka untuk menegaskan penolakan. Sembari membentangkan tulisan menolak untuk menjual sawahnya, mereka mengeluhkan ada intimidasi. Terutama dari pihak perusahaan.

Sekretaris Forum Petani, Thonie Sujarwanto menyampaikan 2 tahun lalu sempat ada investor hendak membeli lahan. Namun tidak jadi dan mengurungkan niatnya. Lantas akhir-akhir ini investor yang berbeda hendak kembali menawar lahan pertanian di Desa Bonagung.

Pihaknya menilai langkah yang dilakukan pihak perusahaan yakni mendesak para petani untuk mau menjual lahan. Pada intinya warga enggan menjual lahan. Namun kerap ditawari pihak perusahaan. ”Ada yang berkali kali datang ke rumah. Padahal usdah menyampaikan tidak dijual, alasan tidak jual karena memang tidak mau jual nggak butuh jual dan masih pengen bertani disini, Kalau tukar tambah juga nggak mau, wong disini juga sudah lama,” ujarnya.

Pihaknya menyampaikan penawaran juga bervariasi. Dari harga Rp 150-250 ribu per meter. Tergantung lokasi lahan. ”Beda-beda semakin orangnya lemah berarti semakin dibuat rendah harganya dan perhitungan dekat jalan beda harganya,” tuturnya.

Sementara, Lamiyo, 50, warga Dukuh Bonagung RT 24, mengaku resah karena sering didatangi untuk dibeli tanahnya lebih dari 4 kali. Padahal pihaknya bersikukuh untuk tidak jual lahan tersebut. Dia menilai Kepala Desa (Kades) Bonagung justru menakut-nakuti, jika tidak dijual dikhawatirkan pihak perusahaan membuat pagar di lahan yang sudah diakusisi.

”Bilangnya gini ini semua dah laku, ini tinggal kamu, nanti kamu akan kita benteng, terus orang satu mendatangi lebih dari 4 kali, lha itu apa gak pemaksaan itu,” ujar Lamiyo.

Pihaknya khawatir jika tak memiliki lahan garapan, maka tidak memiliki penghasilan. Lamiyo menyebut ada 110 petani yang mengumpulkan KTP sebagai bentuk penolakan. Terus nanti orang Bonagung suruh bekerja apa, itu yang nawar bukan orang dari pabriknya itu cuma orang dari benlantiknya atau makelar,” tandasnya.

Namun sebagian petani yang rela lahannya diambil alih justru sudah mendapatkan uang muka pembayaran. Suroso Warga Dukuh Sendangwuni, Desa Bonagung memilih menjual tanahnya. Dia mendapatkan harga Rp 250 ribu per meter persegi. Lantas pihaknya menepis adanya intimidasi dari perusahaan. ”Pembayaran dalam jangka 2-3 minggu. Memang saya jual karena lahan disitu tandus kalau tidak ada hujan,” bebernya.

Pihaknya memilih untuk uang ganti rugi untuk membeli sawah yang lebih produktif. Dengan sumber air yang cukup untuk usaha tani. Dia menilai justru banyak yang memilih melepas lahannya. ”Kemungkinan justru banyak yang dijual, sekarang banyak yang proses,” kata Suroso.

Warga lainnya, Hadi Miyono Sakir,60. Warga Dukuh Sendangwuni RT 13, Desa Bonagung juga menjual tanahnya Rp 250 per meter. Pihaknya menyampaikan mendukung adanya pabrik, selain masih bisa membeli sawah, harapannya anak cucunya bisa bekerja di Pabrik tersebut. ”Ganti rugi sudah saya belikan sawah lagi. Malah turah sekitar Rp 50 jutaan,” terangnya.

Terkait permasalahan tersebut, Kades Bonagung Suwarno menyampaikan sejak awal perusahaan sudah ijin ke pihak desa. Pihaknya juga menyampaikan pengalaman investor sebelumnya yang mengurungkan niat. Sehingga Perusahaan tersebut mengambil cara kekeluargaan pada pemilik lahan tanpa dibantu tim dari desa.

”Pendekatan murni dari tim perusahaan, meminta tolong warga setempat. Jadi didata yang menyatakan dijual dan tidak dijual tanda tangan. Datanya diserahkan ke Perusahaan dan yang menyatakan dijual hampir 80 persen, tapi belum sampai pembicaraan harga,” jelasnya.

Kemudian dilakukan penyisiran, warga yang sedia menjual lahannya, didata permintaanya. Setelah itu ada yang cocok harga dan belum. Untuk pemilik yang sudah cocok harga dengan perusahaan segera diberi Down payment (DP) 20 persen. Kemudian dilakukan proses di notaris untuk pelunasan.

Suwarno menjelaskan data yang setuju sekitar 150 petani dari 200an petani. Bahkan ada yang menolak untuk tidak dijual pun luluh dan mau menjual lahannya. ”jadi yang tidak dijual ya tidak masalah, yang belum deal juga tidak masalah. Penawaran pun diberi opsi tukar lahan lain. Banyak juga yang tukar lahan,” terangnya.

Soal ada warga yang enggan menjual lahannya, menjadi hak pemilik. Jika pendekatan kekeluargaan bagian dari lobi. Pihak perusahaan juga menyampaikan maaf jika saat pendekatan dirasa kurang diterima.

Suwarno menuturkan juga menjembatani untuk lebih meyakinkan warga. Soal penjelasan dipagari, dia menilai hal yang lumrah, dari perusahaan memberi pembatas lahan yang sudah menjadi hak milik.

Terkait aksi para petani itu, Perwakilan PT TKG Taekwang Indonesia Sudihartoyo menuturkan mempersiapkan industri sepatu merek ternama di Sragen. Saat ini perusahaan sudah beroperasi di Subang dan proses operasional di Cirebon. Sragen menjadi pabrik ketiga yang akan didirikan.

”Proyeksi kami 35 ribu karyawan, tidak hanya dari Sragen, juga menyerap dari kabupaten sekitar. Lahan yang kami perlukan sekitar 40-45 hektar,” ujar dia.   

Soal penolakan petani yang menolak, dia menekankan dalam upaya mendapatkan tempat produksi tidak perlu ada masalah. Dia menekankan tidak ada pemaksaan dan intimidasi. ”Kami pendekatan personal ke pemilik lahan. Kami masih berusaha untuk membuka wawasan bagaimana nanti kalau efek adanya pabrik,” ujar dia.

Pihaknya siap memfasilitasi warga meninjau langsung hadir di Pabrik Subang. Karena timbul perputaran ekonomi di sekitar pabrik. Selain itu pihaknya juga komitmen untuk menampung tenaga kerja. ”Warga yang lahannya digunakan, mengusulkan tenaga kerja kami utamakan. Kami juga utamakan warga sekitar,” bebernya.

Dia menargetkan 2025 sudah bisa beroperasi. Nilai investasi keseluruhan diperkirakan antara Rp 4,3-4,5 Trilyun. ”Ini PMA pusatnya di korea, dan sudah ada di Vietnam dengan karyawan sekitar 100 ribu,” pungkasnya.(aza)



Tinggalkan Komentar

Komentar