Dangdut dan Kemerdekaan

Dangdutan sudah menjadi budaya warga Indonesia ketika ada momentum perayaan-perayaan besar. Di berbagai tempat khususnya pulau Jawa, hal ini menjadi wajar karena dangdut menjadi ciri khas genre musik orang Jawa. Akan tetapi sedikit berbeda pemaknaan dan filosofinya ketika dilaksanakan di bulan Agustus. Ya, di bulan kemerdekaan ini, bulan dimana para pahlawan penuh perjuangan meraih kemerdekaan, sedikitnya ada sejarah singkat mengenai asal usul budaya dangdutan. 

Menurut lansiran dari Kompas (27/01) dangdut pertama kali marak tersebar ketika akhir tahun 1960-an, dan mencapai puncak popularitas pada tahun 1970-an serta 1980-an. Pada saat itu, dangdut lahir atas dasar akulturasi dari perpaduan musik Melayu dan musik India. Tidak cukup hanya dipengaruhi oleh musik India, musik dangdut juga mendapat pengaruh dari musik Arab, khususnya pada bagian cengkok dan harmonisasi nadanya. Mulai dari Roma Irama sampai dengan Denny Caknan, mereka semua sukses menghipnotis jutaan masyarakat Indonesia dengan lagu-lagu ciptaannya. 

Pada tahun 1970 hingga 1980, musik dangdut muncul dengan latar belakang kisah romantis. Lalu berkembang dengan memuat isu-isu sosial dan turut serta mengajak masyarakat agar senantiasa mengingat ajaran Islam. Lebih dari itu, kini musik dangdut juga mewarnai makna-makna toleransi dan keberagaman Indonesia, mulai dari lirik-liriknya maupun gaya pembawaanya. Seperti pada Upacara peringatan Kemerdekaan NKRI ke-77 tahun ini, Farel Prayoga, si penyanyi cilik asal Banyuwangi ini tampil di Istana Negara membawakan lagu dangdut secara apik dan berhasil menghipnotis petinggi-petinggi negara, mulai dari Presiden Joko Widodo, Menteri Pertahanan Prabowo hingga Kapolri Jendral Listyo Sigit. Momen ini merupakan hal yang langka. Baru kali ini upacara kemerdekaan di Istana Negara dimeriahkan lagu dangdut, tahun-tahun sebelumya lagu-lagu daerah.

Hal tersebut lantas menjadi sorotan banyak netizen, ada yang berbau positif seperti komentar, “la ngeneki lo, ben ora sepaneng (seperti ini lo, jangan serius terus)”, ujar salah satu warga-net. Dan ada juga yang berbau negatif, “Pejabat kok jogetan neng ngarepe wong akih” (Pejabat kok jogetan di depan publik). Sontak setelah momen langka tersebut viral, berbagai khalayak turut memberikan komentarnya di berbagai sosial media. Mulai dari Tiktok, Instagram, Youtube dan beberapa Whatsapp Story sahabat-sahabat saya. Tentunya hal ini merupakan hal menguntungkan bagi content creator karena content yang dibuatnya “mendadak” viral. Namun, tak sedikit juga yang merasa cemas dan was-was seperti para penyanyi yang tampil di acara tersebut. 

Tidak ada yang salah sebenarnya jika kita tilik kasus diatas. Dangdut sudah selayaknya menjadi pemersatu keragaman bangsa Indonesia. Jangan selalu memaknai dangdut sebagai hal yang berbau negatif, seperti mabukan, tawuran, dan kejadian ricuh-ricuh lainnya. Cobalah memaknai dangdut sebagai hal yang positif, seperti halnya sebagai sumber penghasilan yang “ngrejekeni” bagi para pencipta lagu, penyanyi, pedagang kaset dangdutan dan sarana hiburan yang “nyenengke ati” bagi para masyarakat kita yang selalu disibukkan dengan rutinitas kerja yang padat. Padahal di sudut-sudut daerah di Indonesia, banyak yang merayakan malam tirakatan dengan dangdutan, setelah sebelumnya dilarang mengingat 2 tahun ini negara kita terkena pandemi. Toh, hal itu dapat terlaksana dengan damai, tanpa kericuhan dan tidak ada tanda-tanda sikap intoleran dari masyarakat sekitarnya.(rob)

Tinggalkan Komentar

Komentar