Sosialisasi PBB Tak Transparan dan Endus Kolusi Jual Beli Tanah yang Dilakukan Pejabat


SRAGEN,Kabarsukowati – Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Kabupaten Sragen dikeluhkan banyak masyarakat. Lantaran ditemui sejumlah kejanggalan, mulai dari sosialisasi kenaikan PBB yang tidak transparan, beban biaya tambahan yang tidak ada sebelumnya hingga tudingan kolusi pejabat terkait jual beli tanah dalam penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

Sekretaris Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kabupaten Sragen, Kristiyanto atau akrab disapa Krisna menyampaikan ada sejumlah keluhan terkait PBB Kabupaten Sragen. Setidaknya ada tiga hal yang perlu dibenahi. Pertama soal kenaikan PBB yang tidak ada pemberitahuan atau sosialisasi ke masyarakat.

Lantas untuk per kasus kenaikan berbeda. Semisal ada PBB salah satu bidang tanah di Desa Mojokerto, Kecamatan Kedawung dengan luasan 2000 meter pada 2022, PBB senilai Rp 60 ribu. Lantas pada 2023 menjadi PBB menjadi Rp 120 ribu. Sedangkan di Desa Toyogo Kecamatan Sambungmacan, luasan sekitar 3000 dengan PBB tahun 2022, Rp 102 ribu. Pada 2023 naik menjadi Rp 170 ribu.

Kedua, Dia menyampaikan dalam perda nomor 10 tahun 2012 terkait NJOP, saat masyarakat melakukan transaksi jual beli, mengajukan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ke Pemda dengan acuan NJOP di PBB sering ditolak. ”Alasannya dari Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) transaksi harga pasar, padahal di Perda dan PBB juga jelas,” selorohnnya.     

Pihaknya menyampaikan jika terkena kenaikan NJOP, di sisi lain batas BPHTB Rp 60 juta tidak kena pajak. Namun dari pemda tidak menaikkan hal tersebut. Seharusnya jika NJOP naik, batas BPHTB, namun tidak dilakukan oleh pemda. Pihaknya melihat kondisi ini sejak 2019. ”Kalau memang ada target pemda menaikkan pendapatan, sama halnya menginjak masyarkat kecil,” selorohnya.

Krisna menyebut ada sejumlah temuan berkaitan dengan pejabat pemda. Ketika seorang pejabat melakukan jual beli, Misalnya dengan nilai harga Rp 600 juta lantas dengan seenaknya nilainya mepet dengan NJOP. Lalu yang lebih disesalkan, petugas BPKPD tidak berani untuk melawan. ”Saya tahu nama sosoknya siapa, saya tahu betul, Ketika pejabat yang jual beli tanah, dipepetkan dengan NJOP, artinya tidak ada keadilan,” tegasnya.

Dia menyampaikan perlakukan pada sesama warga negara tidak setara. Meskipun pihak lain memiliki jabatan di pemerintahan. ”Yang punya power ini selalu di ACC, ini kemungkinan sejak peraturan pemerintah nomor 9 tahun 2016 diberlakukan. Dan praktek di Sragen menggila di 2019. Tentunya dilakukan bagi yang punya jabatan,” ujarnya.  

Ketiga, di item PBB ada tambahan Rp 1500 biaya jaringan. Item tambahan biaya ini tidak ada pada pembayaran PBB tahun sebelumnya. ”Kalau Rp 5000 masyarakat cukup paham biaya kantor pos. Lha biaya jaringan ini masyarakat banyak yang tidak tahu,” ujar dia.(aza)

Tinggalkan Komentar

Komentar