SK, Mobil, dan Gengsi
- Ditulis oleh admin --
- Sabtu, 23 November 2024 --
Pagi itu, di depan rumah sederhana yang mulai terlihat lebih ramai dari biasanya, Pak Joko, seorang guru yang baru saja diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil, berdiri dengan penuh kebanggaan di samping mobil sedan baru berwarna putih. Mobil itu baru saja ia beli dengan memanfaatkan SK PNS-nya sebagai jaminan pinjaman bank.
“Bu, lihat ini. Akhirnya, kita punya mobil sendiri! Sekarang, kita nggak kalah dengan tetangga. Kalau datang ke acara sekolah, aku bisa lebih percaya diri!” seru Pak Joko sambil mengusap kap mobilnya yang masih mengilap.
Istrinya, Bu Rini, hanya tersenyum tipis. Ia adalah wanita sederhana yang selama ini merasa cukup dengan apa yang mereka miliki. Sepeda motor yang biasa mereka gunakan sehari-hari masih berfungsi dengan baik, bahkan jarang sekali mogok.
“Alhamdulillah, Pak. Semoga mobil ini membawa berkah ya. Tapi... apa nggak sebaiknya kita nabung dulu? Kredit lima tahun itu lama lho, Pak. Belum lagi bunganya,” kata Bu Rini dengan nada hati-hati.
Pak Joko langsung mengerutkan dahi. “Rini, kamu ini gimana sih? Orang lain aja berlomba-lomba punya mobil, masa kita kalah? Lagipula, aku ini guru PNS, malu kalau nggak punya mobil. Tetangga kita aja pada punya, padahal bukan PNS!”
Bu Rini menghela napas panjang. Bagi Pak Joko, memiliki mobil tampaknya bukan sekadar alat transportasi, melainkan simbol status yang harus dimiliki. Padahal, gaji bulanan Pak Joko sudah mulai terasa berat dengan cicilan pinjaman yang ia ambil.
Hari-Hari yang Berat
Sejak memiliki mobil, kehidupan keluarga Pak Joko justru terasa lebih berat. Setiap bulan, sebagian besar gaji Pak Joko habis untuk membayar cicilan. Sementara itu, kebutuhan harian mereka sering kali harus dipangkas.
Suatu malam, di meja makan, Bu Rini mulai angkat bicara lagi.
“Pak, bulan ini uang belanja kurang. Anak-anak juga butuh beli buku baru untuk sekolah,” kata Bu Rini hati-hati.
Pak Joko menaruh sendoknya dengan kasar di piring. “Kamu ini ngomongnya cuma uang kurang terus! Aku udah capek kerja seharian, ngajar anak-anak di sekolah, masih juga diomelin soal uang. Kalau kamu hemat, harusnya cukup!”
“Pak, ini bukan soal hemat atau nggak. Kita terlalu banyak bayar cicilan. Aku nggak bilang mobil itu nggak penting, tapi apakah kita harus memaksakan diri seperti ini?”
Pak Joko berdiri dari kursinya, wajahnya memerah. “Kalau nggak puas, kamu aja yang kerja! Aku ini udah kerja keras buat keluarga, tapi kamu malah nggak ngerti perjuangan aku!”
Bu Rini terdiam, air matanya mulai menggenang. Di sisi lain, ia tahu bahwa suaminya tertekan dengan pilihannya sendiri, tapi gengsi telah menguasai dirinya.
Gengsi yang Menjadi Beban
Setiap hari, Pak Joko mengendarai mobilnya ke sekolah dengan penuh kebanggaan. Tapi, di balik kemudi, pikirannya sering dipenuhi kecemasan. Ia sadar bahwa sebagian besar gajinya habis hanya untuk membayar cicilan. Ia mulai berpikir, apakah benar memiliki mobil membuatnya bahagia?
Di rumah, suasana semakin dingin. Bu Rini lebih sering diam, sementara Pak Joko merasa semakin jauh dari keluarganya.
Suatu hari, tetangga mereka, Pak Bambang, datang berkunjung. Pak Bambang adalah seorang guru yang sama-sama baru diangkat sebagai PNS, tapi kehidupannya terlihat lebih santai dan damai.
“Wah, Pak Joko, mobil barunya keren! Tapi kok saya lihat, Bapak sering buru-buru belakangan ini?” tanya Pak Bambang dengan senyum ramah.
Pak Joko hanya tersenyum kaku. “Iya, Pak Bambang. Namanya juga usaha biar nggak kalah sama yang lain,” jawabnya.
Pak Bambang tersenyum kecil. “Pak, jangan terlalu memaksakan diri. Yang penting itu kita bersyukur sama apa yang sudah Allah kasih. Kalau kita terus-terusan mikir gengsi, kita nggak akan pernah merasa cukup.”
Kata-kata Pak Bambang itu terus terngiang di kepala Pak Joko. Malam harinya, ketika duduk sendirian di ruang tamu, ia mulai merenung. Ia melihat kembali ke dalam dirinya, menyadari bahwa semua kegelisahan yang ia rasakan berasal dari satu hal: gengsi.
Mengambil Keputusan
Esok harinya, Pak Joko mengajak Bu Rini bicara dari hati ke hati.
“Bu, aku mau minta maaf,” ujar Pak Joko dengan nada lirih.
Bu Rini menoleh, terkejut. “Minta maaf kenapa, Pak?”
“Aku sadar, aku terlalu memaksakan diri. Aku terlalu fokus mikirin gengsi sampai lupa bahwa kita ini harusnya bersyukur dengan apa yang sudah kita punya. Mobil ini memang keren, tapi kalau akhirnya bikin kita ribut terus, apa gunanya?”
Bu Rini tersenyum kecil. “Alhamdulillah, Pak. Aku senang kalau Bapak mulai sadar. Aku nggak pernah masalah kita punya mobil atau nggak, yang penting kita bisa hidup tenang.”
Akhirnya, Pak Joko memutuskan untuk menjual mobilnya dan menggunakan uang hasil penjualan untuk melunasi sebagian besar utangnya di bank. Meski kembali menggunakan sepeda motor, ia merasa lebih tenang dan lega.
Sejak saat itu, kehidupan keluarga mereka berubah. Pak Joko mulai belajar bersyukur, sementara Bu Rini merasa kembali mendapatkan suaminya yang dulu. Mereka kini lebih fokus pada kebahagiaan sederhana yang sejati, bukan pada gengsi yang semu.
"Karena kebahagiaan sejati tidak pernah datang dari apa yang kita miliki, tapi dari rasa syukur atas apa yang telah diberikan Allah kepada kita."(Adib)
Komentar